Pada tanggal 11-12 Mei 2015, WWF-Indonesia bekerja sama dengan Direktorat Pemasaran Luar Negeri dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (Dir. PLN-KKP), menyelenggarakan lokakarya bertajuk “Perkembangan Perbaikan Pengelolaan Perikanan Tuna Indonesia Guna Mencapai Standar Sertifikasi Ekolabel MSC” di Bogor. Dari lokakarya ini, disimpulkan bahwa perbaikan perikanan tuna di Indonesia sudah dilakukan di lapangan. Namun, dari 50 usulan yang direkomendasikan, baru 19 langkah (milestones) yang dinilai layak dan sesuai dengan standar Marine Stewardship Council (MSC), per tahun 2014. Sementara 31 milestones lainnya masih harus ditingkatkan dan dikelola lebih baik.
Penilaian menggunakan standar MSC untuk perbaikan perikanan tuna di Indonesia diterapkan bagi tuna – Sirip Kuning (Thunnus albacares), Mata Besar (Thunnus obesus), dan Cakalang (Katsuwonus pelamis) – yang ditangkap menggunakan alat tangkap pancing ulur, huhate, rawai tuna, tonda, pukat cincin > 30 GT, pukat cincin <30 GT, dan jaring insang hanyut. Penilaian yang dimulai pada tahun 2010 ini kemudian menghasilkan langkah aksi yang dijadikan panduan dan disebut sebagai Fisheries Improvement Program (FIP).
Penerapan FIP tuna di Indonesia bertujuan agar produksi tuna nasional mampu bersaing di pasar perikanan internasional dan dapat menambah devisa untuk Negara. Peningkatan kualitas ini tentunya akan memberikan manfaat kepada nelayan Indonesia demi keberlangsungan usaha dan nilai tambah ekonomis untuk penghidupan.
Ditemui saat acara berlangsung, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (Dirjen P2HP) Saut Hutagalung mengatakan, “Untuk memenuhi salah satu milestones FIP tuna di Indonesia, pada tahun 2014, KKP sudah menyusun Rencana Pengelolaan Perikanan - Tuna, Cakalang, Tongkol (RPP-TCT). Selain upaya pengurangan aktivitas Illegal, Unregulated, Unreported (IUU), isu keberlanjutan juga merupakan prioritas KKP.” Pernyataan ini menguatkan upaya kolaborasi yang menyeluruh antara pemerintah dengan organisasi pendamping perbaikan perikanan tuna di lapangan, guna mempercepat tercapainya langkah perbaikan untuk menuju perikanan berkelanjutan berstandar MSC.
Indonesia memiliki kewajiban untuk terus meningkatkan kapasitas dan tata kelola dalam pengelolaan perikanan tunanya, terlebih dengan keanggotaan Indonesia dalam Komisi Perikanan Wilayah Pasifik Barat dan Tengah (Western and Central Pacific Fisheries Commission/WCPFC), Komisi untuk Konservasi Tuna Sirip Biru (Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna/CCSBT) dan Komisi Tuna Samudera Hindia (Indian Ocean Tuna Commission/IOTC). Walaupun RPP-TCT belum diresmikan, pengembangan metode Harvest Control Rule – Harvest Strategy harus segera dibangun, dan menjadi anggota yang patuh dalam setiap Regional Fisheries Management Organization (RFMO) adalah pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan bersama.
WWF-Indonesia melakukan pendampingan FIP tuna untuk alat tangkap pancing ulur di Jawa Timur, NTT dan Sulawesi Tenggara; alat tangkap huhate di NTT; alat tangkap rawai tuna di Jakarta, Bali dan Sulawesi Utara. Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia melakukan kegiatan sejenis di Ambon, Maluku untuk alat tangkap hand line. Sementara itu, International Pole and Line Foundation (IPNLF) secara spesifik bekerja membantu aktivitas perbaikan perikanan Cakalang yang menggunakan huhate.
Lokakarya “Perkembangan Perbaikan Pengelolaan Perikanan Tuna Indonesia Guna Mencapai Standar Sertifikasi Ekolabel MSC” dihadiri juga oleh beberapa institusi yang saling bekerja sama guna memperbaiki praktik perikanan tuna di Indonesia. Institusi-institusi tersebut antara lain Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI); Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Handline Indonesia (AP2HI); Sea Delight, salah satu perusahaan anggota Seafood Savers; LSM seperti Yayasan Masyarakat dan Perikanan Indonesia, International Pole and Line Foundation (IPNLF) dan Sustainable Fisheries Partnership (SFP).
Penulis: Capture Fisheries Team - WWF Indonesia