Konsep dan Definisi
Konsep dan Definisi
FAO (2003) mendefinisikan Ecosystem Approach to Fisheries (EAF) sebagai : an ecosystem approach to fisheries strives to balance diverse societal objectives, by taking account of the knowledge and uncertainties about biotic, abiotic and human components of ecosystems and their interactions and applying an integrated approach to fisheries within ecologically meaningful boundaries. Mengacu pada definisi tersebut, secara sederhana EAF dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan sosial ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumberdaya ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan.
Dalam konteks ini, beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam implementasi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (EAF) antara lain adalah :
- Perikanan harus dikelola pada batas yang memberikan dampak yang dapat ditoleransi oleh ekosistem;
- Interaksi ekologis antar sumberdaya ikan dan ekosistemnya harus dijaga;
- Perangkat pengelolaan sebaiknya compatible untuk semua distribusi sumberdaya ikan;
- Prinsip kehati-hatian dalam proses pengambilan keputusan pengelolaan perikanan;
- Tata kelola perikanan mencakup kepentingan sistem ekologi dan sistem manusia (FAO, 2003).
Berdasarkan definisi dan prinsip EAFM tersebut di atas, maka implementasi EAFM di Indonesia memerlukan adaptasi struktural maupun fungsional di seluruh tingkat pengelolaan perikanan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini paling tidak menyangkut perubahan kerangka berpikir (mindset) misalnya bahwa otoritas perikanan tidak lagi hanya menjalankan fungsi administratif perikanan (fisheries administrative functions), namun lebih dari itu menjalankan fungsi pengelolaan perikanan atau fisheries management functions (Adrianto et al, 2008).
Pengembangan Indikator bagi Implementasi EAFM
Indikator secara sederhana didefinisikan sebagai sebagai sebuah alat atau jalan untuk mengukur, mengindikasikan, atau merujuk sesuatu hal dengan lebih atau kurang dari ukuran yang diinginkan. Menurut Hart Environmental Data (1998) dalam Adrianto (2007), indikator ditetapkan untuk beberapa tujuan penting yaitu mengukur kemajuan, menjelaskan keberlanjutan dari sebuah sistem, memberikan pembelajaran kepada stakeholders, mampu memotivasi (motivating), memfokuskan diri pada aksi dan mampu menunjukkan keterkaitan antar indikator (showing linkages).
Selanjutnya, dalam konteks manajemen perikanan sebuah indikator dikatakan sebagai sebuah indikator yang baik apabila memenuhi beberapa unsur seperti (1) menggambarkan daya dukung ekosistem; (2) relevan terhadap tujuan dari ko-manajemen; (3) mampu dimengerti oleh seluruh stakeholders; (4) dapat digunakan dalam kerangka monitoring dan evaluasi; (5) long-term view; dan (5) menggambarkan keterkaitan dalam sistem ko-manajemen perikanan (Hart, 1998). Sementara itu, menurut Pomeroy and Rivera-Guieb (2006), indikator yang baik adalah indikator yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
- Dapat diukur: mampu dicatat dan dianalisis secara kuantitatif atau kualitatif
- Tepat: didefinisikan sama oleh seluruh stakeholders
- Konsisten: tidak berubah dari waktu ke waktu dan
- Sensitif : secara proporsional berubah sebagai respon dari perubahan aktual
Dalam beberapa kasus, pemilihan indikator terkait dengan tujuan yang akan dicapai dari monitoring dan evaluasi. Ketika satu indikator sudah ditentukan, proses berikutnya adalah pemilihan metode untuk mengukur indikator tersebut. Beberapa syarat penting yang harus diperhatikan adalah bahwa metode tersebut sebaiknya (1) akurat dan reliabel, artinya tingkat kesalahan yang ditimbulkan dari koleksi data dapat diminimalisir; (2) biaya efektif, artinya sejauh mana metode ini akan menghasilkan pengukuran indikator yang baik dengan biaya yang rendah; (3) kelayakan, artinya apakah ada unsur masyarakat yang dapat melakukan metode pengukuran indikator; dan (4) ketepatan, artinya sejauh mana metode yang dipilih sesuai dengan konteks perencanaan dan pengelolaan perikanan.
Implementasi EAFM memerlukan perangkat indikator yang dapat digunakan sebagai alat monitoring dan evaluasi mengenai sejauh mana pengelolaan perikanan sudah menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan berbasis ekosistem (Degnbol 2004; Garcia and Cochrane, 2005; Gaichas, 2008). Dalam pengembangan indikator bagi pengelolaan berbasis ekosistem (EBM), salah satu pendekatan yang sering digunakan adalah pendekatan DPSIR (Drivers-Pressures-State-Impact-Response) seperti yang ditawarkan oleh Turner (2000) untuk konteks pengelolaan pesisir atau yang lebih sederhana dalam konteks hanya Pressures-State-Impact oleh Jennings (2005), Adrianto (2007) dalam konteks pengelolaan perikanan. Dalam hal ini, indikator dibangun berdasarkan siklus DPSIR atau PSI sehingga idenfitikasi mitigasi kebijakan sebagai respon dari perilaku indikator dapat dilakukan dengan tepat.
Dalam forum identifikasi dan konsultasi bersama dengan stakeholder perikanan di nasional dan daerah pada Lokakarya Nasional tanggal 19-21 September 2010, Direktorat Sumberdaya Ikan – Ditjen Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Program Kelautan WWF Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Laut – Institut Pertanian Bogor telah mendokumentasikan indikator yang dibutuhkan untuk pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem. Masing-masing indikator untuk aspek pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan dapat dilihat pada halaman publikasi
Nama Organisasi | Kontak | |
DIrektorat Pengelolaan Sumber Daya Ikan | [email protected] | |
Kementrian Kelautan dan Perikanan | [email protected] |
KEPMEN 50/2017
O | M | U |
Overfishing | Moderate | Underfishing |
WPP-571 | |
Cumi-cumi | M |
---|---|
Ikan Demersal | U |
Ikan Karang | U |
Ikan Pelagis Besar | M |
Ikan Pelagis Kecil | M |
Kepiting | O |
Lobster | O |
Rajungan | M |
Udang Penaeid | O |
WPP-572 | |
Cumi-cumi | U |
Ikan Demersal | M |
Ikan Karang | U |
Ikan Pelagis Besar | M |
Ikan Pelagis Kecil | M |
Kepiting | U |
Lobster | M |
Rajungan | U |
Udang Penaeid | O |
WPP-573 | |
Cumi-cumi | O |
Ikan Demersal | U |
Ikan Karang | O |
Ikan Pelagis Besar | O |
Ikan Pelagis Kecil | O |
Kepiting | U |
Lobster | M |
Rajungan | M |
Udang Penaeid | O |
WPP-711 | |
Cumi-cumi | O |
Ikan Demersal | M |
Ikan Karang | O |
Ikan Pelagis Besar | M |
Ikan Pelagis Kecil | O |
Kepiting | O |
Lobster | M |
Rajungan | O |
Udang Penaeid | M |
WPP-712 | |
Cumi-cumi | O |
Ikan Demersal | M |
Ikan Karang | O |
Ikan Pelagis Besar | M |
Ikan Pelagis Kecil | U |
Kepiting | M |
Lobster | O |
Rajungan | M |
Udang Penaeid | O |
WPP-713 | |
Cumi-cumi | O |
Ikan Demersal | M |
Ikan Karang | O |
Ikan Pelagis Besar | O |
Ikan Pelagis Kecil | O |
Kepiting | M |
Lobster | O |
Rajungan | M |
Udang Penaeid | M |
WPP-714 | |
Cumi-cumi | O |
Ikan Demersal | M |
Ikan Karang | M |
Ikan Pelagis Besar | M |
Ikan Pelagis Kecil | U |
Kepiting | O |
Lobster | O |
Rajungan | M |
Udang Penaeid | U |
WPP-715 | |
Cumi-cumi | O |
Ikan Demersal | U |
Ikan Karang | U |
Ikan Pelagis Besar | M |
Ikan Pelagis Kecil | U |
Kepiting | O |
Lobster | O |
Rajungan | M |
Udang Penaeid | M |
WPP-716 | |
Cumi-cumi | O |
Ikan Demersal | U |
Ikan Karang | O |
Ikan Pelagis Besar | M |
Ikan Pelagis Kecil | U |
Kepiting | O |
Lobster | M |
Rajungan | M |
Udang Penaeid | M |
WPP-717 | |
Cumi-cumi | O |
Ikan Demersal | U |
Ikan Karang | M |
Ikan Pelagis Besar | O |
Ikan Pelagis Kecil | M |
Kepiting | M |
Lobster | O |
Rajungan | O |
Udang Penaeid | U |
WPP-718 | |
Cumi-cumi | O |
Ikan Demersal | M |
Ikan Karang | O |
Ikan Pelagis Besar | M |
Ikan Pelagis Kecil | M |
Kepiting | M |
Lobster | M |
Rajungan | M |
Udang Penaeid | M |
Ikan | Panjang_lm |
---|---|
Tuna Sirip Kuning | 137,50 (FL) |
Tuna Sirip Biru | 140 cm |
Tuna Mata Besar | Jantan : 140,5-151,9 Betina : 133,5-137,9(FL) |
Tuna Albakor | 107.5 cm |
Tongkol Krai | 29-30 cm |
Tongkol Komo | 40-65 cm |
Tongkol | 35 cm |
Teripang | 16 cm,184 gr |
Teri Jengki | 6 cm |
Tenggiri | 40-45 cm |
Tembang | 11,95 FL |
Slanget | Jantan : 13,9-14,6 Betina : 13,1-13,8 (TL) |
Selar Kuning | J: 13,9-14,2 B: 13,5-13,8 (TL) |
Selar Bentong | 20,80 FL |
Rajungan | 7-9 cm (CL) |
Peperek | 13.0 SL |
Pari Manta | 380-460 cm |
Pari | M:59.9-69.1 /F:59.9-69.1 cm |
Mata Tujuh | M:3.51-4.0/ F:4.01-4.5 cm |
Mahi-mahi | 65 cm |
Lencam | 45.3 cm |
Lemuru | 15.0 cm Betina: 9,9 (TL) |
Layaran | 156-250 cm |
Layang Deles | Jantan : 19,6-20,1 Betina : 19,8-20,3 |
Layang | 16,21 FL |
Kuwe | 42.0 SL |
Kurisi | F:15-18 cm |
Kurau | F:28.5-29 cm/ M:22.5-24.3 cm |
Kuniran | F:13.6-14.3/ M:14.4-15.1 cm |
Kerapu | 39 cm |
Kerang Dara | M : 2.720-2.950 cm/ F:2.230-3.050 cm |
Kepiting Bakau | 9-10 up CL/301-400 gr |
Kembung | 16,89 FL |
Kambing kambing | 14.0 TL |
Kakap Putih | 29-60 cm |
Kakap Merah | 42.9 FL |
Gerotgerot | 40.0 cm |
Cakalang | 40-41.9 cm |
Butana | 18.0 FL |
Belanak | 24-26 cm |
Bawal Putih | 18 cm |
Bawal Hitam | 22-24 cm |
Baronang | 24 cm |
Barakuda | F:66.0 FL/ M:60.0 FL |
Banyar | 18,03 FL |