Latar belakang
Latar belakang
Pengelolaan perikanan merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-Undang No 31/2004 yang ditegaskan kembali pada perbaikan undang-undang tersebut yaitu pada Undang-Undang No 45/2009. Dalam konteks adopsi hukum tersebut, pengelolaan perikanan didefinisikan sebagai semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan-peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu :
- dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya
- dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat
- dimensi kebijakan perikanan itu sendiri (Charles, 2001).
Terkait dengan tiga dimensi tersebut, pengelolaan perikanan saat ini masih belum mempertimbangkan keseimbangan ketiganya, di mana kepentingan pemanfaatan untuk kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dirasakan lebih besar dibanding dengan misalnya kesehatan ekosistemnya. Dengan kata lain, pendekatan yang dilakukan masih parsial belum terintegrasi dalam sebuah batasan ekosistem yang menjadi wadah dari sumberdaya ikan sebagai target pengelolaan. Dalam konteks ini lah, pendekatan terintegrasi melalui pendekatan ekosistem terhadap pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries) menjadi sangat penting. Pada saat yang sama, kebutuhan untuk mengamankan ketahanan pangan dan keberlanjutan kesejahteraan ekonomi masyarakat nelayan, terutama di negara berkembang menjadi perhatian banyak pihak dalam skala global. Dalam pertemuan para pengambil kebijakan pada World Summit on Sustainable Development tahun 2002 di Johannesburg, disepakati perlunya koordinasi dan kerjasama untuk melaksanakan pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (UN 2004). Dengan menandatangani hasil pertemuan tersebut, Indonesia turut berkewajiban untuk melaksanakan pengelolaan dengan pendekatan ekosistem ini dimulai pada tahun 2010.
Dalam konstelasi kebijakan pengelolaan perikanan di Indonesia, wilayah perairan laut Indonesia dibagi menjadi 11 (sebelas) Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang terbentang dari wilayah Selat Malaka di sebelah barat Indonesia hingga Laut Arafura di sebelah timur Indonesia. Wilayah Pengelolaan Perikanan ini merupakan basis bagi tata kelola perikanan (fisheries governance) Indonesia yang diharapkan dapat menjadi kawasan implementesi pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan. Terkait dengan hal ini, Direktorat Sumberdaya Ikan – Ditjen Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Program Kelautan WWF Indonesia dan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Laut – Institut Pertanian Bogor telah mengadakan Lokakarya Nasional pada 19-21 September 2010 untuk mengidentifikasi indikator pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem yang melibatkan stakeholder perikanan di tingkat nasional dan daerah. Indikator ini dibangun sebagai tolak ukur ketercapaian pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem yang mengadopsi kebutuhan ketiga dimensi untuk keberlanjutan sumberdaya dan kesejahteraan masyarakat pesisir. Hasil yang didapatkan dari Lokakarya Nasional ini kemudian dilanjutkan dengan pertemuan para ahli yang ditujukan untuk mendefinisikan metode penilaian tiap indikator yang dilaksanakan pada tanggal 7 – 8 Februari 2011. Setelah indikator dan metode penilaian terdefinisikan dengan baik, sistem ini kemudian digunakan untuk menilai sampai sejauh mana kondisi dan status setiap WPP menuju tujuan pengelolaan yang diinginkan dalam satu kajian integratif. Dengan melaksanakan kajian ini, diharapkan otoritas pengelolaan perikanan dan para pihak terkait dengan sumberdaya perikanan dan kealutan memiliki informasi sampai dimana kondisi terkini pengelolaan yang ada saat ini dan bersama mencari solusi terbaik dalam memperbaiki pengelolaan perikanan Indonesia.
Road Map
Pengembangan Indikator EAFM
13-14 Agustus 2010 - Pre-Workshop EAFM oleh para ahli perikanan
Tujuan: Identifikasi indikator potensial yang akan digunakan pada lokakarya nasional
Hasil: Terbitnya draft indicator EAFM Indonesia yang terbagi dalam 6 domain (Domain SDI, Domain Habitat, Domain Alat Tangkap dan aspek teknis penangkapan, Domain Sosial, Domain Ekonomi dan Domain Kelembagaan)
Pihak yang terlibat: Dit SDI - DJPT, BRPL, P4KSI, BBPPI - Semarang, STP Jakarta, UB, IPB, UNDIP, WWF-Indonesia
23-24 September 2010 - Workshop Nasional
Tujuan: Konsultasi nasional penajaman indikator pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem
Hasil: Masukan dari stakeholders dan disepakatinya indicator EAFM yang dikembangkan untuk diujicobakan di lapangan.
Pihak yang terlibat: Dit SDI - DJPT, BRPL, P4KSI, BBPPI - Semarang, STP Jakarta, PUSKITA, Dit KKJI - DJKP3K, Dit PLN - DJP2HP, BBRSE, Dit PUPI - DJPT, DKP Prov.Papua, DKP Prov.Jatim, DKP Kab.Bitung, DKP Prov.NTB, UB, IPB, UNDIP, LIPI, WWF, TNC, TERANGI, WCS, CI, Telapak, MPM, MEPS.
29 Desember 2010 - Sosialisasi Indikator EAFM
Tujuan: Sosialisasi indikator serta hasil penilaian awal indikator pada 11 WPP
Hasil: Masukan dari para pihak untuk dokumen ikndikator EAFM dan juga hasil exercising awal indicator pada 11 WPP di Indonesia
Pihak yang terlibat: Dit SDI - DJPT, Dit PUPI - DJPT, IPB, UNDIP, WWF, TNC
7-8 Februari 2011 - Pertemuan Ahli EAFM
Tujuan: Pertemuan ahli Perbaikan Metode Penilaian Indikator Bagi Pendekatan Ekosistem Dalam Pengelolaan Perikanan
Hasil: Penyempurnaan Indikator EAFM yang dikembangkan dan draft tim kelompok ahli untuk mendukung pengembangan EAFM di Indonesia
Pihak yang terlibat: Dit SDI - DJPT, STP Jakarta, BBRSE, IPB, UNDIP, WWF
EXERCISING PENILAIAN EAFM BERDASARKAN INDIKATOR YANG DIKEMBANGKAN
Oktober 2010 – Sekarang: Uji Coba Penilaian Awal Performa Setiap WPP
Tujuan: Uji coba penilaian awal performa 11 WPP di Indonesia dalam rangka menguji EAFM indicator yang dikembangkan
Hasil: masukan terhadap indicator EAFM terhadap pengelolaan berdasarkan Area
Pelaksana: PKSPL-IPB, WWF dan Dit SDI-DJPT
June 2010 – May 2011 - Uji Coba Penilaian EAFM pada Perikanan Hiu di Indonesia
Tujuan: Uji coba performa pengelolaan Hiu di Indonesia dalam rangka menguji EAFM indicator yang dikembangkan
Hasil: Masukan terhadap indicator EAFM terhadap pengelolaan berdasarkan komoditi perikanan
Pelaksana: WWF, TAKA, Sukarelawan Mahasiswa perikanan dan kelautan di beberapa universitas
Agustus 2011 - Sekarang - Uji Coba Penilaian Awal Performa EAFM di Berau, Waktobi dan Solor-Alor
Tujuan: Uji coba penilaian awal performa pengelolaan perikanan di Kab. Berau, Wakatobi dan Solor-Alor
Hasil: Masukan terhadap indicator EAFM terhadap pengelolaan berdasarkan Area khususnya kawasan konservasi laut/daerah
Pelaksana: WWF, DKP Berau, DKP Wakatobi, DKP flores Timur-lembata-alor, Balai Taman Nasional Wakatobi
MEMBANGUN LEARNING AND INFORMATION CENTER
Tujuan: Untuk mendukung pengembangan EAFM di Indonesia, maka diperlukan media komunikasi dan informasi yang memadai dan efektif. Untuk itu, sebuah mailinglist yang dimoderatori oleh Dit SDI-DJPT dan WWF-Indonesia telah di launching dan berjalan sebagai media komunikasi bagi para ahli dan pemerhati pengembangan dan pengadopsian EAFM di Indonesia. Alamat mailing list tersebut [email protected] . Selain itu sebuah website EAFM Indonesia sedang di inisiasi dan dalam proses pengembangan. Website EAFM ini diharapakan bisa menjadi pusat informasi dan data mengenai apa dan bagaimana tentang pengembangan dan pelaksanaan EAFM di Indonesia. Untuk memperkuat dan menginisiasi tersedianya sumber daya manusia EAFM di Indonesia, sebuah modul pelatihan EAFM juga sedang dalam proses pengembangan.
Pihak yang terlibat: Dit SDI-DJPT, WWF, PKSPL-IPB
SOSIALISASI PENGEMBANGAN EAFM
9-10 Juni 2011 - Sosialisasi EAFM di Daerah
Tujuan: Sosialisasi konsep EAFM ke daerah (NTT)
Hasil: Sosialisasi dilaksanakan di Kupang, dengan melibatkan 33 peserta dari para pihak terkait di tiga kabupaten di NTT (Kab. Flores Timur, Lembata dan ALor) yang meliputi Nelayan, akademisi, pengusaha, LSM, pemerintah mengikuti dengan aktif acara sosisalisasi. Secara bersama-sama peserta merumuskan langkah-langkah strategis bersama dalam mewujudkan perikanan tuna yang berkelanjutan di wilayah Kabupaten Flores Timur, Lembata dan Alor.
Pihak yang terlibat: WWF, DKP Propinsi NTT, DKP Kabupaten Lembata, Alor dan Flores Timur.
Implementasi Pendekaan Ekosistem dalam Pengelolaan Perikanan
Menurut Gracia and Cochrane (2005), sama dengan pendekatan pengelolaan konvensional, implementasi EAFM memerlukan perencanaan kebijakan (policy planning), perencanaan strategi (strategic planning), dan perencanaan operasional manajemen (operational management planning). Perencanaan kebijakan diperlukan dalam konteks makro menitik beratkan pada pernyataan komitmen dari pengambil keputusan di tingkat nasional maupun daerah terkait dengan implementasi EAFM. Dalam perencanaan kebijakan juga perlu dimuat pernyataan tujuan dasar dan tujuan akhir dari implementasi EAFM melalui penggabungan tujuan sosial ekonomi dan pertimbangan lingkungan dan sumberdaya ikan. Selain itu, dalam perencanaan kebijakan juga ditetapkan mekanisme koordinasi pusat dan daerah, koordinasi antar sektor, dan hubungan antara regulasi nasional dan internasional terkait dengan implementasi EAFM secara komprehensif.
Sementara itu, perencanaan strategi (strategies planning) lebih menitikberatkan pada formulasi strategi untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan pada rencana kebijakan (policy plan). Strategi yang dipilih bisa saja berasal dari kesepakatan strategi yang berlaku secara umum baik di level nasional maupun internasional misalnya pengurangan non-targeted fish dan by-catch practices penanggulangan pencemaran perairan; pengurangan resiko terhadap nelayan dan sumberdaya ikan; penetapan kawasan konservasi, fish refugia site approach, dan lain sebagainya. Menurut Cochrane (2002), rencana strategi tersebut paling tidak juga memuat instrument aturan main dan perangkat pengelolaan input dan output control yang disusun berdasarkan analisis resiko terhadap keberlanjutan sistem perikanan itu sendiri.
Sedangkan rencana pengelolaan (management plan) menitikberatkan pada rencana aktivitas dan aksi yang lebih detil termasuk di dalamnya terkait dengan koordinasi rencana aktivitas stakeholders, rencana pengendalian, pemanfaatan dan penegakan aturan main yang telah ditetapkan dalam rencana strategis. Dalam rencana pengelolaan, mekanisme monitoring dan pengawasan berbasis partisipasi stakeholders juga ditetapkan. Secara konsepsual, mekanisme monitoring dan control terhadap implementasi EAFM dilihat pada Gambar di samping.
Melengkapi tahapan implementasi EAFM, Ward et al (2002) menyarankan perlunya data dasar perikanan yang kuat dan dilaksanakan dalam satu struktur rencana penelitian yang komprehensif. Penelitian yang dilaksanakan mencakup segala hal yang berhubungan dengan keberlanjutan sumberdaya perikanan tersebut, termasuk nilai ekosistem bagi stakeholder serta pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ekosistem. Selanjutnya, proses pelaksanaan EAFM ini disarankan diakhiri dengan adanya aktivitas pelatihan dan pendidikan bagi nelayan dan stakeholder terkait untuk memastikan pengelolaan perikanan ini dapat dipahami dan dilaksanakan secara optimal.
KEPMEN 50/2017
O | M | U |
Overfishing | Moderate | Underfishing |
WPP-571 | |
Cumi-cumi | M |
---|---|
Ikan Demersal | U |
Ikan Karang | U |
Ikan Pelagis Besar | M |
Ikan Pelagis Kecil | M |
Kepiting | O |
Lobster | O |
Rajungan | M |
Udang Penaeid | O |
WPP-572 | |
Cumi-cumi | U |
Ikan Demersal | M |
Ikan Karang | U |
Ikan Pelagis Besar | M |
Ikan Pelagis Kecil | M |
Kepiting | U |
Lobster | M |
Rajungan | U |
Udang Penaeid | O |
WPP-573 | |
Cumi-cumi | O |
Ikan Demersal | U |
Ikan Karang | O |
Ikan Pelagis Besar | O |
Ikan Pelagis Kecil | O |
Kepiting | U |
Lobster | M |
Rajungan | M |
Udang Penaeid | O |
WPP-711 | |
Cumi-cumi | O |
Ikan Demersal | M |
Ikan Karang | O |
Ikan Pelagis Besar | M |
Ikan Pelagis Kecil | O |
Kepiting | O |
Lobster | M |
Rajungan | O |
Udang Penaeid | M |
WPP-712 | |
Cumi-cumi | O |
Ikan Demersal | M |
Ikan Karang | O |
Ikan Pelagis Besar | M |
Ikan Pelagis Kecil | U |
Kepiting | M |
Lobster | O |
Rajungan | M |
Udang Penaeid | O |
WPP-713 | |
Cumi-cumi | O |
Ikan Demersal | M |
Ikan Karang | O |
Ikan Pelagis Besar | O |
Ikan Pelagis Kecil | O |
Kepiting | M |
Lobster | O |
Rajungan | M |
Udang Penaeid | M |
WPP-714 | |
Cumi-cumi | O |
Ikan Demersal | M |
Ikan Karang | M |
Ikan Pelagis Besar | M |
Ikan Pelagis Kecil | U |
Kepiting | O |
Lobster | O |
Rajungan | M |
Udang Penaeid | U |
WPP-715 | |
Cumi-cumi | O |
Ikan Demersal | U |
Ikan Karang | U |
Ikan Pelagis Besar | M |
Ikan Pelagis Kecil | U |
Kepiting | O |
Lobster | O |
Rajungan | M |
Udang Penaeid | M |
WPP-716 | |
Cumi-cumi | O |
Ikan Demersal | U |
Ikan Karang | O |
Ikan Pelagis Besar | M |
Ikan Pelagis Kecil | U |
Kepiting | O |
Lobster | M |
Rajungan | M |
Udang Penaeid | M |
WPP-717 | |
Cumi-cumi | O |
Ikan Demersal | U |
Ikan Karang | M |
Ikan Pelagis Besar | O |
Ikan Pelagis Kecil | M |
Kepiting | M |
Lobster | O |
Rajungan | O |
Udang Penaeid | U |
WPP-718 | |
Cumi-cumi | O |
Ikan Demersal | M |
Ikan Karang | O |
Ikan Pelagis Besar | M |
Ikan Pelagis Kecil | M |
Kepiting | M |
Lobster | M |
Rajungan | M |
Udang Penaeid | M |
Ikan | Panjang_lm |
---|---|
Tuna Sirip Kuning | 137,50 (FL) |
Tuna Sirip Biru | 140 cm |
Tuna Mata Besar | Jantan : 140,5-151,9 Betina : 133,5-137,9(FL) |
Tuna Albakor | 107.5 cm |
Tongkol Krai | 29-30 cm |
Tongkol Komo | 40-65 cm |
Tongkol | 35 cm |
Teripang | 16 cm,184 gr |
Teri Jengki | 6 cm |
Tenggiri | 40-45 cm |
Tembang | 11,95 FL |
Slanget | Jantan : 13,9-14,6 Betina : 13,1-13,8 (TL) |
Selar Kuning | J: 13,9-14,2 B: 13,5-13,8 (TL) |
Selar Bentong | 20,80 FL |
Rajungan | 7-9 cm (CL) |
Peperek | 13.0 SL |
Pari Manta | 380-460 cm |
Pari | M:59.9-69.1 /F:59.9-69.1 cm |
Mata Tujuh | M:3.51-4.0/ F:4.01-4.5 cm |
Mahi-mahi | 65 cm |
Lencam | 45.3 cm |
Lemuru | 15.0 cm Betina: 9,9 (TL) |
Layaran | 156-250 cm |
Layang Deles | Jantan : 19,6-20,1 Betina : 19,8-20,3 |
Layang | 16,21 FL |
Kuwe | 42.0 SL |
Kurisi | F:15-18 cm |
Kurau | F:28.5-29 cm/ M:22.5-24.3 cm |
Kuniran | F:13.6-14.3/ M:14.4-15.1 cm |
Kerapu | 39 cm |
Kerang Dara | M : 2.720-2.950 cm/ F:2.230-3.050 cm |
Kepiting Bakau | 9-10 up CL/301-400 gr |
Kembung | 16,89 FL |
Kambing kambing | 14.0 TL |
Kakap Putih | 29-60 cm |
Kakap Merah | 42.9 FL |
Gerotgerot | 40.0 cm |
Cakalang | 40-41.9 cm |
Butana | 18.0 FL |
Belanak | 24-26 cm |
Bawal Putih | 18 cm |
Bawal Hitam | 22-24 cm |
Baronang | 24 cm |
Barakuda | F:66.0 FL/ M:60.0 FL |
Banyar | 18,03 FL |