Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing dan seafood fraud menjadi masalah serius Indonesia dan dunia. Eksploitasi hasil laut besar-besaran merajalela dimana-mana. Kelestarian sumber daya ikan perairan laut dunia yang terancam saat ini membutuhkan peraturan global yang mengikat negara pengekspor hasil laut.
Gejala overfishing ditenggarai menaruh peran besar yang menjadi penyebab kepunahan ekosistem laut pada sejumlah perairan dunia akibat praktek IUU Fishing dan Seafood Fraud. Hal ini mendorong mayoritas negara di dunia merumuskan perlunya penerapan pengelolaan dan pembangunan perikanan yang tertib, bertanggung jawab, dan berkelanjutan melalui theCode of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yang telah disepakati pada tahun 1995 dan sejumlah aturan internasional lain yang diadopsi.
Fishing merupakan kegiatan penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku di suatu negara maupun secara internasional, termasuk didalamnya kegiatan penangkapan tanpa ijin dan tidak terlaporkan. Sedangkan seafood fraud adalah kegiatan yang dianggap dapat merusak kegiatan perekonomian melalui serangkaian pengelabuan terhadap konsumen.
Seafood fraud meliputi kegiatan mislabeling (pencantuman label atau informasi yang keliru), dan merubah tampilan fisik produk perikanan agar tampak tetap menarik meskipun sudah tiidak segar. Dikarenakan Amerika Serikat mengimpor lebih dari 90 % kebutuhan seafood setiap tahunnya, maka Pemerintah Amerika Serikat menaruh perhatian besar atas isu-isu yang terkait dengan IUU Fishing dan seafood fraud.
Plh. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Agus Suherman mengatakan, Uni Eropa (UE) telah menerbitkan ketentuan dalam European Commission Regulation No. 1005/2008, dimana sejak 1 Januari 2010 semua produk hasil tangkapan ikan di laut yang dipasarkan ke Uni Eropa wajib disertai dokumen Catch Certificate (Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan/SHTI), yang menjamin bahwa produk perikanan tersebut bukan merupakan hasil kegiatan IUU Fishing. Implementasi SHTI tersebut telah dilaksanakan oleh Ditjen Perikanan Tangkap selaku Otoritas Kompeten dibantu 39 UPT Pusat/Daerah selaku Otoritas kompeten Lokal.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas IUU Fishing dan seafood fraud, antara lain melalui pemberlakuan pengetatan persyaratan ekspor perikanan oleh beberapa negara tujuan ekspor perikanan dunia. Persyaratan ekspor ini mencakup aspek keamanan pangan (food security) dan aspek ketertelusuran (traceability) produk perikanan yang harus dipatuhi oleh negara-negara pengekspor produk perikanan termasuk Indonesia. Negara tujuan ekspor produk perikanan juga telah mengeluarkan kebijakan market trade measure yang dalam pelaksanaanya terdapat persyaratan yang ketat sebelum produk perikanan masuk ke negara-negara seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat.
“Kebijakan KKP diapresiasi negara-negara dunia terkait keseriusan Indonesia dalam memberantas IUU fishing. Kami siap mengikuti rules yang diberlakukan oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat, Indonesia sebagai negara kaya hasil laut membutuhkan peraturan yang dapat menjadi pagar dalam kegiatan ekspor laut, hal ini sekaligus dapat menjadi nilai plus Indonesia dalam memberantas IUU fishing dan seafood fraud,” jelas Agus disela-sela Pertemuan Koordinasi Teknis: Implementasi dan Antisipasi Indonesia untuk Ketentuan Traceability Produk Perikanan Tangkap: Catch Certificate (Uni Eropa) dan U.S. Seafood Traceability Program (Amerika Serikat) di Semarang.
Bentuk taat hukum Indonesia dilakukan melalui pelaksanaan SHTI secara transparan, efektif dan efisien melalui pemanfaatan Sistem Basis Data Terintegrasi pengelolaan Perikanan Tangkap (Database Sharing System). DSS ini bisa digunakan sebagai Tools pengendalian internal pengelolaan sumberdaya perikanan nasional serta memudahkan petugas verifikasi penerbitan SHTI sehingga produk yang akan diekspor ke Uni Eropa bebas terlibat kegiatan IUU Fishing.
Namun demikian, seiring dengan penerapan SHTI, beberapa isu dan masalah yang sering terjadi di lapangan dan menjadi hambatan dalam penerbitan SHTI. Hal ini perlu dicarikan solusi permasalahan agar kegiatan ekspor ke pasar UE tetap berjalan dengan baik dan lancar.
Berantas IUU fishing dan seafood fraud
Negara tujuan ekspor produk perikanan Indonesia, Amerika Serikat saat ini mulai menerapkan ketentuan baru terkait traceability dengan tujuan pemberantasan praktek IUU Fishing dan seafood fraud, Pada tanggal 17 Juni 2014 Pemerintah Amerika Serikat telah mengeluarkan Presidential Memorandum berjudul “Establishing a Comprehensive Framework to Combat Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing and Seafood Fraud”.
Memorandum tersebut antara lain berisikan mengenai pembentukan suatu Gugus Tugas Kepresidenan untuk Penanggulangan IUU Fishing (Presidential Task Force on Combating Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing and Seafood Fraud) atau biasa disebut dengan “Task Force/Gugus Tugas” yang pada pelaksanaannya melibatkan US Department of Commerce dan 12 badan federal lainnya yang terkait.
Dalam pelaksanaan tugasnya, Gugus Tugas tersebut bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden Amerika Serikat untuk menyusun suatu rekomendasi penanggulangan IUU Fishing secara terpadu. Sebagai entitas strategis, Gugus Tugas menjalankan beberapa tugas pokok, antara lain: (i) combating IUU Fishing and seafood fraud at international level; (ii) strengthening enforcement and enhancing enforcement tools; (iii) creating and expanding partnerships with non-federal entities to identify and eliminate seafood fraud and the sale of IUU seafood products in U.S. commerce; dan (iv) increasing information available on seafood products through additional traceability requirements.
Sebagai tindak lanjut dari Action Plan (Rekomendasi Task Force No.14 dan 15) Pemerintah Amerika Serikat telah mengeluarkan aturan U.S. Seafood Traceability Program. Ketentuan baru Pemerintah AS ini mengatur perdagangan produk perikanan yang masuk ke pasar Amerika Serikat untuk mematuhi standa rantai pasok produk seafood dari hulu hingga hilir.
Melalui National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Fisheries, Pemerintah AS pada tanggal 3 Agustus 2016 telah mempublikasikan Final Rule : Trade Monitoring Procedures for Fishery Products; International Trade in Seafood; Permit Requirements for Importers and Exporters. Implementasi ketentuan baru ini efektif berlaku tanggal 20 September 2016.
Di bawah ketentuan ini, importir tunduk pada persyaratan perizinan, pelaporan, dan penyimpanan catatan disesuaikan dengan spesies atau grup spesies yang diimpor dan diintegrasikan dengan implementasi International Trade Data System (ITDS). Kewajiban bagi importir tersebut berimplikasi pada eksportir hasil perikanan Indonesia ke pasar AS dengan cara menyediakan data dan informasi yang dibutuhkan bagi importir. National Marine and Fisheries Service (NMFS) telah membangun model form/blangko bagi pelaku usaha untuk mengimplementasikan sistem ketertelusuran.
“Saya harap Indonesia dapat cepat beradaptasi dalam perkembangan peraturan yang berlaku terkait penerapan penanggulangan IUU fishing dan seafood fraud guna menghindari hambatan teknis ekspor produk perikanan Indonesia khususnya ke pasar UE dan Amerika Serikat, serta dapat lebih memahami ketentuan dan persyaratan market measures ekspor produk perikanan yang telah berlaku. Sekali lagi saya tekankan, kami siap memerangi IUU fishing dan seafood fraud demi kelangsungan sumberdaya ikan yang berkelanjutan,” pungkas Agus. Pro/SA - SEMARANG (20/9)
Sumber: DJPT Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
http://www.djpt.kkp.go.id/read/kkp-siap-berantas-iuu-fishing-dan-seafood-fraud