Indonesia menjadi sorotan dunia terkait kebijakan strategis dalam memberantas IUU fishing. Hal ini sejalan dengan ketentuan Uni Eropa (UE) dan Amerika serikat (AS) dalam memerangi kejahatan hasil laut. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus berupaya melindungi hasil laut Indonesia yang masuk ke perdagangan global bebas dari hasil praktek IUU Fishing.
Selain IUU fishing, isu yang kian marak terkait seafood fraud yang meliputi kegiatan mislabeling (pencantuman label atau informasi yang keliru) dan merubah tampilan fisik produk perikanan agar tampak tetap menarik meskipun sudah tidak segar. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat mengimpor lebih dari 90 % kebutuhan seafood setiap tahunnya, maka Pemerintah Amerika Serikat menaruh perhatian besar atas isu-isu yang terkait dengan IUU Fishing dan seafood fraud.
Plh. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, Agus Suherman mengatakan, dua pasar utama tujuan ekspor produk perikanan dunia, yakni Uni Eropa dan Amerika Serikat telah memberlakukan ketentuan ketelusuran yang menjadi persyaratan pokok bagi produk perikanan yang akan masuk ke negara-negara tersebut. Uni Eropa memberlakukan ketentuan penerapan catch certificate yang didasarkan pada ketentuan EC Regulation 1005/2008. Sedangkan Pemerintah Amerika Serikat telah menetapkan ketentuan baru U.S Seafood Traceability Program yang akan mulai diberlakukan 20 September 2016, hari ini.
Semakin ketatnya persyaratan ketelusuran (traceability) untuk kegiatan perdagangan produk perikanan agar produk perikanan terbebas dari hasil praktek-praktek IUU Fishing. Hal ini ditujukan untuk menjamin ketersediaan stok sumberdaya perikanan dan suplai permintaan dunia serta untuk kelangsungan ekonomi industri. Dengan adanya ketentuan dan persyaratan pasar ini, tentunya memerlukan aksi bersama, tidak hanya di KKP, tetapi juga para stakeholder perikanan Indonesia yang lain. Aksi nyata ini diharapkan dilakukan lebih terintegrasi mulai dari tingkat hulu sampai ke tingkat hilir.
“Indonesia sejauh ini telah melaksanakan penerapan catch certificate / SHTI sejak diterapkan 1 Januari 2010 telah berjalan dengan cukup baik, walaupun kita juga sering jumpai sejumlah kendala di lapangan. Namun demikian, pelaksanaan pelayanan SHTI dengan Ditjen Perikanan Tangkap sebagai Otoritas Kompeten, dinilai telah memberikan kontribusi besar dalam mendukung kelancaran ekspor produk perikanan kita ke pasar Uni Eropa. Saya pribadi sangat bersyukur dan berterima kasih pada seluruh Otoritas Kompeten Lokal (OKL) yang telah terlibat penuh untuk kelancaran pelaksanaan SHTI ini. semua ini dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan global terhadap tracebility produk perikanan Indonesia” jelas Agus disela-sela acara.
Berangkat dari hal tersebut, KKP melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) menyelenggarakan Pertemuan Koordinasi Teknis: Implementasi dan Antisipasi Indonesia untuk Ketentuan Traceability Produk Perikanan Tangkap: Catch Certificate (Uni Eropa) dan U.S. Seafood Traceability Program (Amerika Serikat) di Semarang 20 – 21 September 2016.
Adapun peserta yang hadir adalah unit kerja teknis lingkup KKP yang terkait kegiatan traceability produk perikanan, dan para pejabat/staf dari 39 UPT pelabuhan perikanan yang selama ini bertindak sebagai Otoritas Kompeten Lokal (OKL) untuk implementasi pelayanan penerbitan SHTI dan perwakilan UPT PP Daerah untuk penerbitan Surat Keterangan Pendaratan Ikan (SKPI). Narasumber yang mengisi kegiatan ini berasal dari Kementerian Perdagangan, Ditjen PDSPKP dan Tim USAID Ocean Partnership Project.
Agus berharap pertemuan koordinasi teknis ini dapat menjadi sebuah event yang memberikan kontribusi positif bagi pengelolaan perikanan Indonesia, dan bisa mengantisipasi terjadinya hambatan teknis ekspor produk perikanan tangkap Indonesia ke pasar UE dan AS sehingga kegiatan ekspor tetap berjalan lancar dan berkelanjutan. Pro/SA - SEMARANG (20/9)
Sumber: DJPT Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
http://www.djpt.kkp.go.id/read/shti-jadi-pagar-hasil-laut-indonesia