Pengelolaan perikanan yang lestari merupakan sebuah kewajiban seperti yang telah diamanatkan dalam UU Nomor 31 Tahun 2004 dan ditegaskan kembali dalam perbaikannya, pada UU Nomor 45 Tahun 2009. Secara alamiah, pengelolaan sistem perikanan tidak dapat dilepaskan dari tiga dimensi yang tidak terpisahkan satu sama lain yaitu (1) dimensi sumberdaya perikanan dan ekosistemnya; (2) dimensi pemanfaatan sumberdaya perikanan untuk kepentingan sosial ekonomi masyarakat; dan (3) dimensi kebijakan perikanan itu sendiri. Perihal pengelolaan terintegrasi ini kemudian tertuang dalam model pengelolaan perikanan dengan pendekatan ekosistem (Ecosystem Approach to Fisheries Management, selanjutnya disingkat EAFM) yang saat ini telah diamanatkan pada Peraturan Dirjen Perikanan Tangkap No. 18 Tahun 2014. Pengelolaan ini ditujukan untuk mencapai keberlanjutan pemanfaatan sumber daya perikanan dengan memperhatikan tiga dimensi utama dalam perikanan, yaitu ekosistem, sosial dan ekonomi masyarakat serta kebijakan perikanan.Secara sederhana EAFM dapat dipahami sebagai sebuah konsep bagaimana menyeimbangkan antara tujuan ekonomi dalam pengelolaan perikanan (kesejahteraan nelayan, keadilan pemanfaatan sumberdaya ikan, dll) dengan tetap mempertimbangkan pengetahuan, informasi dan ketidakpastian tentang komponen biotik, abiotik dan interaksi manusia dalam ekosistem perairan melalui sebuah pengelolaan perikanan yang terpadu, komprehensif dan berkelanjutan.
Salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki gugus kepulauan besar dan pulau-pulau kecil yang telah melakukan kajian peforma perikanan dengan indikator EAFM adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak tahun 2011. Pada tahun 2019 telah dilakukan kajian EAFM di Provinsi oleh Learning Center EAFM di Provinsi NTT, yaitu Universitas Kristen Artha Wacan Kupang bekerja sama dengan Yayasan WWF Indonesia. Kajian EAFM tersebut difokuskan pada tiga Kabupaten, yaitu: Kabupaten Alor, Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Manggarai Barat. Ketiga Kabupaten tersebut dipilih karena merupakan prioritas pembangunan daerah Provinsi NTT dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut melaui pendekatan Kawasan Konservasi Perairan Daerah – KKPD (Kabupaten Alor dan Flores Timur) dan wilayah pengembangan destinasi pariwisata premium di Kabupaten Manggarai Barat (Labuan Bajo), sesuai yang tertera dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Provinsi NTT periode 2018 - 2023. Dari hasil kajian EAFM di tiga lokasi tersebut, didapatkan status EAFM sebagai berikut (Tabel 1):
Kajian EAFM di tiga lokasi tersebut juga merumuskan rekomendasi perbaikan pengelolaan perikanan berdasarkan masing-masing domain sebagai pedoman Pemerintah Daerah Provinsi NTT, Pengelola Kawasan Konservasi Perairan Daerah maupun mitra terkait dalam mengelola sumberdaya perikanan dan harapannya dapat terintegrasi dengan dokumen perencanaan yang relevan (dokumen Rencana Pengelolaan dan Zonasi KKPD, dokumen Rencana Strategi Perikanan dan Kelautan maupun dokumen Rencana Kerja Pembangunan Daerah).
Sebagai tindak lanjut hal di atas, Yayasan WWF Indonesia bekerja sama dengan Learning Center EAFM Universitas Artha Wacana Kupang, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT, Direktorat SDI KKP dan Puslatuh BRSDM KKP melakukan kegiatan pelatihan EAFM yang dilakukan pada tanggal 20 – 21 April 2021 bertempat di Hotel Aston, Kota Kupang. Kegiatan pelatihan ini diikuti oleh 25 peserta yang berasal dari Kota Kupang, Kabupaten Alor, Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Manggarai Barat dari berbagai institusi, di antaranya adalah: Balai Kawasan Konservasi Perairan (BKKPN) Kupang, Kantor Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT Wilayah Kabupaten Alor, Kantor Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT Wilayah Kabupaten Sikka, Flores Timur dan Lembata, Kantor Cabang Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT Wilayah Kabupaten Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur, Dinas Perikanan Kabupaten Alor, Dinas Perikanan Kabupaten Flores Timur, Dinas Perikanan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Manggarai Barat, Universitas Tribuana Kalabahi, Institut Keguruan dan Teknologi Larantuka, Politeknik El Bajo serta perwakilan masyarakat nelayan dan perusahaan perikanan di Kabupaten Alor, Flores Timur dan Manggarai Barat.
Dalam pengantar kegiatan pelatihan EAFM, Pak Donnie Bessie dari Learning Center EAFM UKAW Kupang menyatakan bahwa: “Mengapa kita perlu EAFM?Pada dasarnya pengelolaan perikanan perlu dijaga, dikelo agar tidak melewati batas toleransi. Perlu unsur kehati-hatian dalam pemanfaatanya, untuk keberlanjutan generasi anak cucu kita. Prinsip EAFM adalah pengelolaan perikanan yang menyeimbangkan antara ekosistem supaya terjaga, namun masyarakat juga sejahtera secara sosial dan ekonomi”.
“Kegiatan pelatihan EAFM ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas Pemerintah Daerah, Akademisi dan pelaku pemanfaatan perikanan di Provinsi NTT guna mendukung pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut secara kolaboratif yang berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Alor, Flores Timur dan Manggarai Barat. Terlebih di Kabupaten Alor yang merupakan Kawasan Konservasi Suaka Alam Perairan Selat Pantar dan Laut Sekitarnya yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2015,” tutur Tutus Wijanarko selaku Project Executant dari Yayasan WWF Indonesia.