Ditulis oleh: Agussalim/FIP Facilitator for Mud Crab Kei Yayasan WWF Indonesia
Mungkin Anda pernah membayangkan kedepannya ikan akan habis di lautan. Ikan tinggallah sejarah yang akan diceritakan oleh anak cucu kita kedepan, sehingga mereka hanya mendengar tanpa bisa melihat secara langsung. Ikan akan habis karena ditangkap secara terus-menerus, seperti itulah yang terjadi pada spesies ikan tertentu. Pembelajaran perlu dilakukan seperti kita melihat perikanan sidat (Anguilla spp.) yang mendapat perhatian banyak pihak karena ancaman kepunahan oleh peningkatan konsumsi.
Demikian halnya dengan Kepiting Bakau, jika ditangkap secara terus-menerus tanpa ada pengelolaan mungkin akan tidak lagi kita jumpai. Untuk mengatasi hal tersebut Yayasan WWF Indonesia berperan aktif dalam mewujudkan perikanan yang bertanggungjawab dan berkelanjutan melalui program perbaikan perikanan atau Fisheries Improvement Program (FIP). FIP adalah program kolaboratif perikanan menuju keberlanjutan antar pemangku kepentingan secara inisiatif, salah satunya bagi komoditas kepiting bakau khususnya dari Teluk Hoat Sorbay. FIP memiliki tujuan utama untuk menciptakan ekosistem laut yang sehat dengan pengelolaan perikanan yang baik, sehingga dapat menjamin pasokan ikan berkualitas tinggi secara berkelanjutan. Dalam kegiatannya, FIP bekerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan yang terlibat dalam industri perikanan salah satunya nelayan penangkap kepiting bakau. Kegiatan pelaksanaan FIP telah dimulai pada tahun 2016 hingga sekarang dengan fokus pada pendampingan nelayan skala kecil penangkap kepiting bakau dengan perangkap atau bubu di wilayah Teluk Hoat Sorbay, Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara.
Gambar 1. Kepiting bakau hasil tangkapan nelayan Desa Evu di Teluk Hoat Sorbay yang tergabung dalam KUB Wear Manun.
Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas unggulan yang berasal dari Kei, bobot kepiting bisa mencapai 2 Kg per ekor membuat kepiting ini memiliki daging yang tebal dan diminati. Nelayan menangkap kepiting bakau menggunakan bubu yang terbuat dari bambu. Pada tahun 1995, PBB melalui FAO (Food Agriculture Organization) menetapkan suatu tata cara bagi kegiatan penangkapan ikan yang bertanggungjawab yang disebut CCRF (Code of Conduct for Resposible Fisheries). Dalam CCRF ada 9 kriteria bagi teknologi penangkapan ikan ramah lingkungan yaitu : memiliki selektivitas tinggi, hasil tangkapan sampingan (bycatch) rendah, hasil tangkapan berkualitas tinggi, tidak merusak habitat/lingkungan (destruktif), mempertahankan keanekaragaman hayati, tidak menangkap spesies yang dilindungi/terancam punah, pengoperasian API (Alat Penangkapan Ikan) tidak membahayakan keselamatan, tidak melakukan penangkapan di area terlarang, dapat diterima secara sosial (biaya investasi murah). Alat tangkap yang digunakan nelayan kepiting bakau dari Desa Evu dapat dikatakan ramah lingkungan secara praktikal.
Konsep perikanan berkelanjutan dijalankan oleh nelayan dengan me-release/melepas kepiting yang ukurannya di bawah aturan desa maupun nasional, serta menggunakan bubu dari bambu yang tidak menimbulkan dampak buruk bagi alam jika sudah terpakai. Berdasarkan data tangkapan pada Oktober 2020 sampai Desember 2022 yang tercatat dalam logbook kelompok, jumlah kepiting yang dilepas sebanyak 2689 ekor. “Saat kepiting di bawah ukuran tertangkap (anakan), menandakan bahwa kepiting daerah tersebut berkembang biak (stok masih ada)” ungkap Om Franky salah seorang nelayan kepiting bakau yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB) Wear Manun. Keberlanjutan stok ikan merupakan salah satu prinsip yang ada di dalam standar ekolabel perikanan MSC (Marine Stewardship Council). Hal ini menjadi penting agar pemanfaatan sumber daya ikan tetap terkelola dengan baik. Dalam rangka melakukan implementasi perbaikan perikanan, Yayasan WWF Indonesia melalui Proyek OSF (Ocean Stewardship Fund), mendukung pelaksanaan program perbaikan kepiting bakau di Teluk Hoat Sorbay, Kei Kecil, Maluku.
Gambar 2. Nelayan Kepulauan Kei melepas kepiting bakau di bawah ukuran sesuai aturan yang berlaku.
“Kelompok Wear Manun ini memiliki target untuk mendapatkan sertifikat ekolabel MSC. Saya sampaikan kepada teman-teman kita bekerja dulu, setelah bekerja mungkin ada hasil. Sehingga jika ada kunjungan dari Dinas, kita ada bukti kerja. Kalau ada bukti kerja, pasti respon mereka juga baik.” ungkap Fransiskus Sirken (Om Franky) dalam kegiatan rapat koordinasi bersama Yayasan WWF Indonesia, Dinas Perikanan dan Dinas Koperasi Maluku Tenggara yang berlangsung pada akhir Agustus 2022. Jika nelayan, pemerintah setempat, dan para pemangku kepentingan saling mendukung dalam perbaikan perikanan khususnya kepiting bakau maka Kepiting Bakau dari Kei untuk Dunia bukanlah hanya sekedar omongan belaka.
Gambar 3. Bubu yang digunakan nelayan kepiting bakau dari Desa Evu di Teluk Hoat Sorbay, Maluku Tenggara.